Ketika itu
beberapa hari hujan tidak trun di tanah pengabdianku, Bajawa Utara Kabupaten
Ngada Flores Nusa Tenggara Timur. Tak ada sumur di sini, air dari sumber yang
biasanya dialirkan sampai kompleks SMKN Batara mati, wae loga pun kering, kalau pun ada juga tidak bisa digunakan untuk
air minum. Karena itu untuk kebutuhan memasak harus mengambil air dari sumber
lain yang dialirkan ke tempat lain pula menggunakan pipa.
Sore itu 23
November 2013, aku ikut mengambil air menggunakan jerigen 5 literan yang
diangkut menggunakan pick up karena jaraknya cukup jauh dari kompleks sekolah,
mungkin sekitar 4-5 km. Densi dan Virgi adalah dua murid yang biasanya bantuin
guru di sini. Ketika sampai di tempat tujuan langsung minta ijin sama om om
yang rumahnya di pinggir jalan tempat ambil air itu dan mereka mulai mengisi
jerigen satu persatu, sambil sesekali narsis foto-foto. Aku sih kebanyakan jadi
fotografernya aja karena yang aku pake kamera hp.
Pandanganku
tiba-tiba teralihkan oleh dua anak kecil yang berjalan dengan aki-kaki kecilnya
tanpa alas menapaki selokan kering yang berada di sepanjang pinggir jalan. Aku
perhatikan mereka, lusuh, pakaian dan kulitnya. Sepertinya mereka kakak
beradik, mungkin usianya 4 tahun dan 2 tahun. Di atas kepala, Sang kakak
membawa karung yang menurutku ukurannya kecil, entah apa isi karung itu. Tak
lama kemudian mereka berhenti untuk beristirahat sejenak, mata mereka tertuju
pada kami, mungkin dalam hati mereka bertanya “siapa orang orang ini?”. Karung itu
diletakkannya di bibir selokan, karena sedikit terbuka aku pun jadi tahu karung
itu berisi rumput. Penduduk di batara memang kebanyakan memelihara ternak
diantaranya babi, sapi dan kambing. Tapi anak-anak ini masih terlalu kecil
untuk mencari makanan ternak, apa lagi tanpa orang tua yang mendampingi.
Istirahat
dirasa cukup, kedua balita itu akan melanjutkan perjalanannya. Sang adik
berjalan duluan sedangkan sang kakak harus mengangkat barang bawaannya,
terlihat sang adik berhenti dan menengok pada kakaknya yang sedang
membungkukkan badan dan berusaha menaikkan kembali karung itu ke atas
kepalanya. Mereka pun kembali menyusuri selokan itu, aku masih memperhatikan
perjuangan mereka. Oh..... ternyata di depan sana ada kayu melintang di atas
selokan yang biasa digunakan untuk menyeberang. Sampai di sana sang kakak
kebingungan bagaimana cara melewati kayu itu yang ternyata lebih rendah
daripada kepalanya. Akhirnya dia mendapat ide untuk naik dari selokan dengan
lebih dahulu meletakkan bawaannya di bibir selokan. Kedua anak itu berhasil
naik ke bibir selokan. Sang adik berjalan di depan, kakak dibelakangnya. Mereka
berjalan belum begitu jauh, agak lucu juga sih kejadiannya, tapi kasian. entah
ide sang kakak atau permintaan Sang adik, karung itu diletakkan di atas kepala
Sang adik, adik langsung terduduk, dia masih terlalu kecil dan tidak kuat
membawa karung berisi rumput yang tadinya dibawa Sang kakak. Mengerti bahwa
adiknya tidak kuat,kakak pun mengambil kembali bawaan itu meski dia lelah dan
sudak merasa keberatan.
Aku tak tega melihat mereka, kuhampiri mereka
dan aku bawakan karung itu dengan satu tanganku saja sambil aku bertanya,
“rumah kalian dimana?” kakak menunjuk mengikuti arah jalan di hadapan kami.
“Mari ibu antar”, kataku. Mereka pun berjalan tanpa banyak bicara, aku tanya
tapi mereka diam. Sebenernya banyak sekali yang ingin aku tanyakan pada mereka,
“ orang tua kalian dimana? Kalian disuruh atau bagaimana? Atau orang tua kalian
tidak ada?Dsb.” Ingin juga bertanya kepada orang tua mereka ketika sampai di
rumah.
Jarak dari tempat kami bertemu k rumah mereka
sekitar 200 meter. Orang tuanya keluar setelah ada panggilan dari luar, mereka
tida terlihat seperti orang yang habis sibuk bekerja keras, entah apa yang
mereka kerjakan di dalam rumah. Mereka terlihat binggung tidak mempersilakan
duduk atau masuk ke dalam rumah, mungkin karena belum pernah melihatku sebelumnya.
Suasana menjadi canggung, aku pun mengurungkan niatku untuk ngobrol dengan
mereka. aku hanya mengatakan “mama saya bertemu mereka di jalan, kasian
keberatan”. Yang aku dengar tidak jelas apa yang dikatakan orang tua anak-anak
itu. Aku pun segera berpamitan dan kembali bergabung dengan rombongan pengambil
air.
Mungkin itu cara mereka berlatih menghadapi
kerasnya kehidupan di salah satu sudut pelosok negeri Indonesia ini. Semoga
orang tua mereka penyayang dan mereka tumbuh menjadi tunas bangsa yang hebat. Kita
yang tak pernah mengalami hal seperti itu sudah sepantasnya terus bersyukur
atas kenikmatan yang telah Tuhan anugrahkan.
Terimaksih SM3T, telah membawaku melihat lebih
luas kehidupan di negeri ini.
Rina Astutu, S.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar