Selasa, 27 Januari 2015

BALITA PENCARI RUMPUT


Ketika itu beberapa hari hujan tidak trun di tanah pengabdianku, Bajawa Utara Kabupaten Ngada Flores Nusa Tenggara Timur. Tak ada sumur di sini, air dari sumber yang biasanya dialirkan sampai kompleks SMKN Batara mati, wae loga pun kering, kalau pun ada juga tidak bisa digunakan untuk air minum. Karena itu untuk kebutuhan memasak harus mengambil air dari sumber lain yang dialirkan ke tempat lain pula menggunakan pipa.
Sore itu 23 November 2013, aku ikut mengambil air menggunakan jerigen 5 literan yang diangkut menggunakan pick up karena jaraknya cukup jauh dari kompleks sekolah, mungkin sekitar 4-5 km. Densi dan Virgi adalah dua murid yang biasanya bantuin guru di sini. Ketika sampai di tempat tujuan langsung minta ijin sama om om yang rumahnya di pinggir jalan tempat ambil air itu dan mereka mulai mengisi jerigen satu persatu, sambil sesekali narsis foto-foto. Aku sih kebanyakan jadi fotografernya aja karena yang aku pake kamera hp.
Pandanganku tiba-tiba teralihkan oleh dua anak kecil yang berjalan dengan aki-kaki kecilnya tanpa alas menapaki selokan kering yang berada di sepanjang pinggir jalan. Aku perhatikan mereka, lusuh, pakaian dan kulitnya. Sepertinya mereka kakak beradik, mungkin usianya 4 tahun dan 2 tahun. Di atas kepala, Sang kakak membawa karung yang menurutku ukurannya kecil, entah apa isi karung itu. Tak lama kemudian mereka berhenti untuk beristirahat sejenak, mata mereka tertuju pada kami, mungkin dalam hati mereka bertanya “siapa orang orang ini?”. Karung itu diletakkannya di bibir selokan, karena sedikit terbuka aku pun jadi tahu karung itu berisi rumput. Penduduk di batara memang kebanyakan memelihara ternak diantaranya babi, sapi dan kambing. Tapi anak-anak ini masih terlalu kecil untuk mencari makanan ternak, apa lagi tanpa orang tua yang mendampingi.
Istirahat dirasa cukup, kedua balita itu akan melanjutkan perjalanannya. Sang adik berjalan duluan sedangkan sang kakak harus mengangkat barang bawaannya, terlihat sang adik berhenti dan menengok pada kakaknya yang sedang membungkukkan badan dan berusaha menaikkan kembali karung itu ke atas kepalanya. Mereka pun kembali menyusuri selokan itu, aku masih memperhatikan perjuangan mereka. Oh..... ternyata di depan sana ada kayu melintang di atas selokan yang biasa digunakan untuk menyeberang. Sampai di sana sang kakak kebingungan bagaimana cara melewati kayu itu yang ternyata lebih rendah daripada kepalanya. Akhirnya dia mendapat ide untuk naik dari selokan dengan lebih dahulu meletakkan bawaannya di bibir selokan. Kedua anak itu berhasil naik ke bibir selokan. Sang adik berjalan di depan, kakak dibelakangnya. Mereka berjalan belum begitu jauh, agak lucu juga sih kejadiannya, tapi kasian. entah ide sang kakak atau permintaan Sang adik, karung itu diletakkan di atas kepala Sang adik, adik langsung terduduk, dia masih terlalu kecil dan tidak kuat membawa karung berisi rumput yang tadinya dibawa Sang kakak. Mengerti bahwa adiknya tidak kuat,kakak pun mengambil kembali bawaan itu meski dia lelah dan sudak merasa keberatan.


Aku tak tega melihat mereka, kuhampiri mereka dan aku bawakan karung itu dengan satu tanganku saja sambil aku bertanya, “rumah kalian dimana?” kakak menunjuk mengikuti arah jalan di hadapan kami. “Mari ibu antar”, kataku. Mereka pun berjalan tanpa banyak bicara, aku tanya tapi mereka diam. Sebenernya banyak sekali yang ingin aku tanyakan pada mereka, “ orang tua kalian dimana? Kalian disuruh atau bagaimana? Atau orang tua kalian tidak ada?Dsb.” Ingin juga bertanya kepada orang tua mereka ketika sampai di rumah.
Jarak dari tempat kami bertemu k rumah mereka sekitar 200 meter. Orang tuanya keluar setelah ada panggilan dari luar, mereka tida terlihat seperti orang yang habis sibuk bekerja keras, entah apa yang mereka kerjakan di dalam rumah. Mereka terlihat binggung tidak mempersilakan duduk atau masuk ke dalam rumah, mungkin karena belum pernah melihatku sebelumnya. Suasana menjadi canggung, aku pun mengurungkan niatku untuk ngobrol dengan mereka. aku hanya mengatakan “mama saya bertemu mereka di jalan, kasian keberatan”. Yang aku dengar tidak jelas apa yang dikatakan orang tua anak-anak itu. Aku pun segera berpamitan dan kembali bergabung dengan rombongan pengambil air.
Mungkin itu cara mereka berlatih menghadapi kerasnya kehidupan di salah satu sudut pelosok negeri Indonesia ini. Semoga orang tua mereka penyayang dan mereka tumbuh menjadi tunas bangsa yang hebat. Kita yang tak pernah mengalami hal seperti itu sudah sepantasnya terus bersyukur atas kenikmatan yang telah Tuhan anugrahkan.

Terimaksih SM3T, telah membawaku melihat lebih luas kehidupan di negeri ini.

Rina Astutu, S.Pd

Tidak ada komentar: